Saya bukanlah tipe orang yang memiliki photographic memory, yang mempunyai kemampuan untuk mengingat sesuatu secara detail walaupun kejadian tersebut telah lama berlangsung. Tapi untuk kasus-kasus tertentu yang bersifat traumatik, setiap orang punya kecenderungan untuk dapat mengingat detail kejadian dengan jelas. Umumnya kejadian traumatik itu banyak yang berkaitan dengan tindak kejahatan atau minimal percobaan kejahatan (kriminal). Serem ya... ??
Tidak banyak orang yang dianugerahi kemampuan untuk tetap mampu mengendalikan diri dan bisa menjaga pikiran tetap fokus untuk meloloskan diri dari percobaan kejahatan yang datang kepada dirinya. Dikarenakan tekanan mental yang diterima cukup berat kala kejadian itu tengah berlangsung. Saya juga mungkin termasuk orang yang seperti itu. Tapi dengan berusaha keras, menenangkan diri dan mencoba berpikir cepat dan tepat, maka alhamdulillah berkat pertolongan-Nya juga saya berhasil meloloskan diri dari penjahat-penjahat jalanan yang tentunya banyak sekali berkeliaran tanpa takut dengan aparat yang tampaknya tak berdaya. Betul sekali diri kitalah yang menjadi polisi bagi diri sendiri dan 'arsitek' utama yang menentukan lolos tidaknya kita dari percobaan kejahatan jalanan (street crime).
Berpikir cepat dan tenang adalah kunci utama untuk berusaha meloloskan diri dari drama percobaan kriminal yang menimpa anda. Yang harus diingat adalah bahwa kejadian itu adalah sebuah "drama" atau sandiwara pihak lain (penjahat) terhadap anda. Maka andapun harus bersikap dan menganggap hal yang sedang terjadi sebagai "sandiwara" juga. Tapi anda mesti bisa membalikkan keadaan dimana penjahat itu yang anda kendalikan perasaan dan pikirannya, tanpa mereka menyadarinya. Hal ini tidak semudah seperti tulisan dan cerita, namun apabila anda sungguh-sungguh berusaha keras, semoga anda bisa terlepas dari situasi yang sangat merugikan. Anda pun selamat dari percobaan tindak kriminal tersebut.
Saya bukan hanya sekedar "berwacana" saja, sebab saya sendiri pernah mengalami beberapa kali tindakan percobaan kejahatan dengan teknik "sandiwara". Tapi dengan berpikir cepat, tenang dan menempatkan diri kita/(menganggap) diri kita berada di 'atas' mereka, maka situasi dapat kita balikkan. Dari semula kita yang jadi objek yang dikerjai, di akhir "drama" merekalah yang 'menyerah', hehehe...... Kejadian ini terjadi pada waktu saya masih kuliah di Depok dulu.
Inilah beberapa kisah saya (yang mungkin pernah juga anda alami!) :
:: Di Depan Toko Buku Gramedia Pasar Baru
Kuliah saya hari itu berakhir pukul 10.00 wib. Daripada tidak ada kesibukan saya berpikir untuk "jalan-jalan" ke toko buku Gramedia. Gramedia Pasar Barulah yang saya pilih untuk disambangi. Singkat cerita, ketika saya hampir sampai ke toko buku kira-kira 20 meter sebelum pintu masuk -kebetulan situasi saat itu sedang sepi- saya dihadang sekitar 15-an orang anak-anak yang berseragam SMA. Mereka menghentikan langkah saya, dengan kasar seorang di antara mereka bertanya kepada saya,
"Hey, lu anak Tr***kti yang kemarin ngeroyok adek gw sampe bonyok ya?!" begitu katanya. Saya pandangi dia dan juga teman-temannya yang berwajah bengis seperti mau menerkam saya. Saya sadar sekali saat itu dengan keadaan saya, yang sebenarnya akan menjadi obyek pemerasan 'anak-anak kecil' itu. Belum sempat saya menjawab anak yang tadi terus bicara lagi dengan galaknya.
"Udahlah lu ngaku aja, gak usah banyak bacot. Daripada babak belur lu ganti aja deh biaya pengobatan adek gue, 500 rebu" entaknya. Busyet deh, banyak amat ya tu duit. Begitu pikir saya waktu itu. Tapi saya mencoba untuk tetap tenang dan tidak terbawa dengan situasi yang mereka buat. Tindakan salah bisa berakibat fatal karena bisa saja menjadi bulan-bulanan gerombolan mereka yang telah mengelilingi saya.
Saya pun mulai menjawab dengan (berusaha) tenang...
"Ha? Tr***kti??? Bukan tuh, gue bukan anak Tr***kti. Gue ini anak UI. UI tu di Depok, jauh dari sini. Jadi gue gak kenal sama adek elu apalagi sampe berantem segala. Anak UI kerjaannya belajar. Kalopun kita berantem paling cuma sesama anak UI aja, gak pernah ngajak ribut orang-orang dari luar," begitu jawab saya kala itu. "Lagian kalo elu minta duit gue gak ada, karena gue anak daerah yang gak banyak terima kiriman duit. Kalo anak Tr***kti kali aja duitnya banyak," lanjut saya lagi. Mendengar jawaban saya, rupanya ada teman-temannya yang lain melihat tulisan bagian belakang t-shirt yang kebetulan hari itu saya kenakan. "Civil Engineering University of Indonesia" itulah tulisan yang tertera dan dibaca oleh mereka.
Tiba-tiba temannya yang berada di belakang saya seperti memberi kode kepada temannya yang galak tadi dan sebagian dari merekapun mulai beranjak agak menjauh dari saya. Tapi si galak itu belum mau menyerah. Dia bicara lagi, tapi dengan nada yang lebih lembut, "lu bener anak UI ya ? Ya deh kalo gak ada 500 (ribu) gue minta 50 (ribu) aja," katanya. "Gue kan dah bilang, anak daerah kayak gue mana ada duitnya," jawab saya lagi. Anak itu masih belum menyerah dan kembali berkata, "ya deh, kalo kagak ada, 5 rebu atau 5 ratus juga gak papalah."
Ya elaaaah, pikir saya anak ini gede banget diskonnya, dari 500 ribu ke 5 ratus saja. Tapi saya tetap tak ingin memberi uang buat pemalak seperti mereka. Pikir saya gengsi amat memberi uang pada 'anak-anak kecil' yang tak sopan dan malak seperti mereka. Maklum.... saya merasa 'udah gede' (kan sudah jadi mahasiswa, hehehe.....). Saya juga agak heran dengan permintaannya yang selalu berkelipatan angka 5. Mungkin itu angka keberuntungannya ya... ? Wallahualam......
"Gue gak ada duit. Gue kesini aja nebeng sama temen gue," ujar saya lagi. Akhirnya anak itu pun menyerah dan malah berbisik ke telinga saya,
"Ya deh sorry ya bang, lu gak marah kan sama kami ?" Dalam hati saya berpikir, waduh ni preman bisa jadi melow juga, pake minta-minta maaf segala.
"Ya, gak papa kok. Gue gak marah, nyantai aja, kalo gue ada pasti lu gue kasih," tandas saya mantap sambil menerima uluran 'tos' tangannya dan juga semua teman-temannya yang lain, yang sudah berubah jadi lebih ramah, friendly dan full of smile !
Dari galak seperti singa yang lapar, tapi akhirnya mereka minta maaf. Kisah yang menurut saya cukup aneh itu benar-benar saya alami. Sikap tetap tenang dan berpikir cepat dengan berpatokan dari "omongan" sandiwara mereka akhirnya menyelamatkan saya. Dan yang pasti, ada pertolongan dari "Atas".
:: Jam 11 Malam di Sukmajaya Depok
Cerita ini bermula ketika saya bersama teman saya Erik (mahasiswa diploma jurusan perpajakan UI) baru pulang dari 'bermain' dan bersilaturahmi ke rumah seorang teman lama. Ketika sedang menunggu angkot (angkutan kota) di tempat yang kebetulan sepi dan gelap di daerah Sukmajaya Depok, datanglah 2 orang (calon) pemalak yang (pura-pura) mabuk dan dengan galaknya meminta uang sambil membentak.
"Woy, lu ada duit gak?" kata salah seorang dari mereka sambil memegang lengan saya.
Mendengar pertanyaan yang seperti itu saya pun menjawab, "Oh, kalau duit gue punya," seraya merogoh saku celana dan mengeluarkan uang recehan sebesar Rp 100,-. Ya, 100 rupiah saja ! Dan itu saya serahkan ke orang galak pemeras tadi.
Diapun menerima uang cepek yang saya beri tadi sambil berpandangan heran dengan temannya yang juga terlihat bingung.
"Duit gue ada, tapi ya cuma segitu," ujar saya lagi. Akhirnya si galak itu beralih ke teman di sebelah saya. "Lu, mana duit elu ?" sosornya.
Saya segera menanggapi, "Yee, dia temen gue. Ikut gue, mana ada duit dia. Lha yang bayarin dia aja gue," ujar saya lagi.
Mendengar perkataan saya, kedua 'preman separo' itu segera ngeloyor pergi begitu saja, meninggalkan kami berdua.
Setelah mereka pergi giliran teman yang menatap saya dengan pandangan heran.
"Emang kenapa?" tanya saya enteng sambil tersenyum.
"Lu gila ya Dha, ngasih ke orang begituan cepek doank? Gimana kalo mereka tadi ngamuk?" tanya Erik. "Ssst, lu gak denger apa, mereka kan cuma tanya ada duit apa enggak. Ya gue bilang aja ada, tapi cuma cepek, gak marah kan mereka?" Hahaha......
"Kali mereka nggak tau ya Dha, yang mereka palak itu perampok penipu," canda Erik lagi.
Akhirnya kita berdua tertawa ngakak di dalam angkot yang membawa kami kembali ke kost-an.
:: Jam 3 Sore di Disc Tarra Hero Supermarket (Seberang Depok Mall)
Kali ini saya sendiri lagi mengahadapi 2 orang (calon) pemeras yang (mereka pikir mereka) pintar.
Ketika sedang asyk-asyiknya mencari-cari kaset kesukaan saya, tiba-tiba saya didatangi oleh 2 orang yang berpakaian rapi dan mereka dengan 'tegas' berkata kepada saya,
"Lu ikut gue dulu sebentar," sambil menyentuh (bukan memegang) lengan saya. Saya agak kaget dan langsung memandangi 2 orang itu.
"Tar dulu, ada apa ini? Kalian siapa?" jawab saya, pelan saja.
"Lu kan anak G***darma yang mukulin adek gue sampe babak belur?!! Sekarang adek gue masuk gawat darurat, koma dia. Udah lu ikut gue aja dulu," bentaknya galak sambil melotot dan dengan gaya yang (akting) emosi.
Dalam hati saya berpikir. Masak sih, apakah saya terlihat seperti orang yang doyan mukulin adik-adik orang lain ya? Makanya tuduhannya selalu seperti itu (seperti kejadian di Gramedia Pasar Baru). Perawakan saya kan imut (kecil maksudnya). Karena badan yang kecil inilah makanya sering dijadikan "calon mangsa" oleh penjahat-penjahat teri ini. Begitu batin saya saat itu.
Mendengar perkataannya tadi saya pun menjawab disertai dengan sandiwara yang (saya pikir) tak kalah meyakinkan (seperti dia berakting tadi). Dengan bahasa tubuh yang saya buat seakan saya berempati pada mereka saya pun berkata,
"Hmmm, gue ini mahasiswa UI bukan G***darma. Tapi kok kurang ajar sekali anak G***darma yang mukulin adek lu sampe koma begitu. Yuk gue bantuin lu nyari tu orang. Kebetulan Om gue Kasat Reskrim di Polda Metro Jaya," kata saya sambil memegang pundak kedua orang itu dan seolah-olah hendak mengajak mereka pergi.
Padahal saya tak punya saudara sama sekali di Polda Metro Jaya. Itu hanya trik saya saja untuk melepaskan diri dari situasi yang bisa bikin apes.
Mungkin mendengar kata-kata dan sikap saya yang cukup meyakinkan (bagi mereka), mereka segera menjawab,
"Oh, abang bukan anak G***darma ya? Ya udah deh, gak papa bang. Gak usah dibantu. Kita coba urus sendiri deh."
Saya pun menimpali dengan terus (pura-pura) berempati,
"Gak papa kok gue bantu elu nemuin orang yang jahat itu. Pasti dapet sama Om gue, biar ditembak sekalian."
Tidak banyak orang yang dianugerahi kemampuan untuk tetap mampu mengendalikan diri dan bisa menjaga pikiran tetap fokus untuk meloloskan diri dari percobaan kejahatan yang datang kepada dirinya. Dikarenakan tekanan mental yang diterima cukup berat kala kejadian itu tengah berlangsung. Saya juga mungkin termasuk orang yang seperti itu. Tapi dengan berusaha keras, menenangkan diri dan mencoba berpikir cepat dan tepat, maka alhamdulillah berkat pertolongan-Nya juga saya berhasil meloloskan diri dari penjahat-penjahat jalanan yang tentunya banyak sekali berkeliaran tanpa takut dengan aparat yang tampaknya tak berdaya. Betul sekali diri kitalah yang menjadi polisi bagi diri sendiri dan 'arsitek' utama yang menentukan lolos tidaknya kita dari percobaan kejahatan jalanan (street crime).
Berpikir cepat dan tenang adalah kunci utama untuk berusaha meloloskan diri dari drama percobaan kriminal yang menimpa anda. Yang harus diingat adalah bahwa kejadian itu adalah sebuah "drama" atau sandiwara pihak lain (penjahat) terhadap anda. Maka andapun harus bersikap dan menganggap hal yang sedang terjadi sebagai "sandiwara" juga. Tapi anda mesti bisa membalikkan keadaan dimana penjahat itu yang anda kendalikan perasaan dan pikirannya, tanpa mereka menyadarinya. Hal ini tidak semudah seperti tulisan dan cerita, namun apabila anda sungguh-sungguh berusaha keras, semoga anda bisa terlepas dari situasi yang sangat merugikan. Anda pun selamat dari percobaan tindak kriminal tersebut.
Saya bukan hanya sekedar "berwacana" saja, sebab saya sendiri pernah mengalami beberapa kali tindakan percobaan kejahatan dengan teknik "sandiwara". Tapi dengan berpikir cepat, tenang dan menempatkan diri kita/(menganggap) diri kita berada di 'atas' mereka, maka situasi dapat kita balikkan. Dari semula kita yang jadi objek yang dikerjai, di akhir "drama" merekalah yang 'menyerah', hehehe...... Kejadian ini terjadi pada waktu saya masih kuliah di Depok dulu.
Inilah beberapa kisah saya (yang mungkin pernah juga anda alami!) :
:: Di Depan Toko Buku Gramedia Pasar Baru
Kuliah saya hari itu berakhir pukul 10.00 wib. Daripada tidak ada kesibukan saya berpikir untuk "jalan-jalan" ke toko buku Gramedia. Gramedia Pasar Barulah yang saya pilih untuk disambangi. Singkat cerita, ketika saya hampir sampai ke toko buku kira-kira 20 meter sebelum pintu masuk -kebetulan situasi saat itu sedang sepi- saya dihadang sekitar 15-an orang anak-anak yang berseragam SMA. Mereka menghentikan langkah saya, dengan kasar seorang di antara mereka bertanya kepada saya,
"Hey, lu anak Tr***kti yang kemarin ngeroyok adek gw sampe bonyok ya?!" begitu katanya. Saya pandangi dia dan juga teman-temannya yang berwajah bengis seperti mau menerkam saya. Saya sadar sekali saat itu dengan keadaan saya, yang sebenarnya akan menjadi obyek pemerasan 'anak-anak kecil' itu. Belum sempat saya menjawab anak yang tadi terus bicara lagi dengan galaknya.
"Udahlah lu ngaku aja, gak usah banyak bacot. Daripada babak belur lu ganti aja deh biaya pengobatan adek gue, 500 rebu" entaknya. Busyet deh, banyak amat ya tu duit. Begitu pikir saya waktu itu. Tapi saya mencoba untuk tetap tenang dan tidak terbawa dengan situasi yang mereka buat. Tindakan salah bisa berakibat fatal karena bisa saja menjadi bulan-bulanan gerombolan mereka yang telah mengelilingi saya.
Saya pun mulai menjawab dengan (berusaha) tenang...
"Ha? Tr***kti??? Bukan tuh, gue bukan anak Tr***kti. Gue ini anak UI. UI tu di Depok, jauh dari sini. Jadi gue gak kenal sama adek elu apalagi sampe berantem segala. Anak UI kerjaannya belajar. Kalopun kita berantem paling cuma sesama anak UI aja, gak pernah ngajak ribut orang-orang dari luar," begitu jawab saya kala itu. "Lagian kalo elu minta duit gue gak ada, karena gue anak daerah yang gak banyak terima kiriman duit. Kalo anak Tr***kti kali aja duitnya banyak," lanjut saya lagi. Mendengar jawaban saya, rupanya ada teman-temannya yang lain melihat tulisan bagian belakang t-shirt yang kebetulan hari itu saya kenakan. "Civil Engineering University of Indonesia" itulah tulisan yang tertera dan dibaca oleh mereka.
Tiba-tiba temannya yang berada di belakang saya seperti memberi kode kepada temannya yang galak tadi dan sebagian dari merekapun mulai beranjak agak menjauh dari saya. Tapi si galak itu belum mau menyerah. Dia bicara lagi, tapi dengan nada yang lebih lembut, "lu bener anak UI ya ? Ya deh kalo gak ada 500 (ribu) gue minta 50 (ribu) aja," katanya. "Gue kan dah bilang, anak daerah kayak gue mana ada duitnya," jawab saya lagi. Anak itu masih belum menyerah dan kembali berkata, "ya deh, kalo kagak ada, 5 rebu atau 5 ratus juga gak papalah."
Ya elaaaah, pikir saya anak ini gede banget diskonnya, dari 500 ribu ke 5 ratus saja. Tapi saya tetap tak ingin memberi uang buat pemalak seperti mereka. Pikir saya gengsi amat memberi uang pada 'anak-anak kecil' yang tak sopan dan malak seperti mereka. Maklum.... saya merasa 'udah gede' (kan sudah jadi mahasiswa, hehehe.....). Saya juga agak heran dengan permintaannya yang selalu berkelipatan angka 5. Mungkin itu angka keberuntungannya ya... ? Wallahualam......
"Gue gak ada duit. Gue kesini aja nebeng sama temen gue," ujar saya lagi. Akhirnya anak itu pun menyerah dan malah berbisik ke telinga saya,
"Ya deh sorry ya bang, lu gak marah kan sama kami ?" Dalam hati saya berpikir, waduh ni preman bisa jadi melow juga, pake minta-minta maaf segala.
"Ya, gak papa kok. Gue gak marah, nyantai aja, kalo gue ada pasti lu gue kasih," tandas saya mantap sambil menerima uluran 'tos' tangannya dan juga semua teman-temannya yang lain, yang sudah berubah jadi lebih ramah, friendly dan full of smile !
Dari galak seperti singa yang lapar, tapi akhirnya mereka minta maaf. Kisah yang menurut saya cukup aneh itu benar-benar saya alami. Sikap tetap tenang dan berpikir cepat dengan berpatokan dari "omongan" sandiwara mereka akhirnya menyelamatkan saya. Dan yang pasti, ada pertolongan dari "Atas".
:: Jam 11 Malam di Sukmajaya Depok
Cerita ini bermula ketika saya bersama teman saya Erik (mahasiswa diploma jurusan perpajakan UI) baru pulang dari 'bermain' dan bersilaturahmi ke rumah seorang teman lama. Ketika sedang menunggu angkot (angkutan kota) di tempat yang kebetulan sepi dan gelap di daerah Sukmajaya Depok, datanglah 2 orang (calon) pemalak yang (pura-pura) mabuk dan dengan galaknya meminta uang sambil membentak.
"Woy, lu ada duit gak?" kata salah seorang dari mereka sambil memegang lengan saya.
Mendengar pertanyaan yang seperti itu saya pun menjawab, "Oh, kalau duit gue punya," seraya merogoh saku celana dan mengeluarkan uang recehan sebesar Rp 100,-. Ya, 100 rupiah saja ! Dan itu saya serahkan ke orang galak pemeras tadi.
Diapun menerima uang cepek yang saya beri tadi sambil berpandangan heran dengan temannya yang juga terlihat bingung.
"Duit gue ada, tapi ya cuma segitu," ujar saya lagi. Akhirnya si galak itu beralih ke teman di sebelah saya. "Lu, mana duit elu ?" sosornya.
Saya segera menanggapi, "Yee, dia temen gue. Ikut gue, mana ada duit dia. Lha yang bayarin dia aja gue," ujar saya lagi.
Mendengar perkataan saya, kedua 'preman separo' itu segera ngeloyor pergi begitu saja, meninggalkan kami berdua.
Setelah mereka pergi giliran teman yang menatap saya dengan pandangan heran.
"Emang kenapa?" tanya saya enteng sambil tersenyum.
"Lu gila ya Dha, ngasih ke orang begituan cepek doank? Gimana kalo mereka tadi ngamuk?" tanya Erik. "Ssst, lu gak denger apa, mereka kan cuma tanya ada duit apa enggak. Ya gue bilang aja ada, tapi cuma cepek, gak marah kan mereka?" Hahaha......
"Kali mereka nggak tau ya Dha, yang mereka palak itu perampok penipu," canda Erik lagi.
Akhirnya kita berdua tertawa ngakak di dalam angkot yang membawa kami kembali ke kost-an.
:: Jam 3 Sore di Disc Tarra Hero Supermarket (Seberang Depok Mall)
Kali ini saya sendiri lagi mengahadapi 2 orang (calon) pemeras yang (mereka pikir mereka) pintar.
Ketika sedang asyk-asyiknya mencari-cari kaset kesukaan saya, tiba-tiba saya didatangi oleh 2 orang yang berpakaian rapi dan mereka dengan 'tegas' berkata kepada saya,
"Lu ikut gue dulu sebentar," sambil menyentuh (bukan memegang) lengan saya. Saya agak kaget dan langsung memandangi 2 orang itu.
"Tar dulu, ada apa ini? Kalian siapa?" jawab saya, pelan saja.
"Lu kan anak G***darma yang mukulin adek gue sampe babak belur?!! Sekarang adek gue masuk gawat darurat, koma dia. Udah lu ikut gue aja dulu," bentaknya galak sambil melotot dan dengan gaya yang (akting) emosi.
Dalam hati saya berpikir. Masak sih, apakah saya terlihat seperti orang yang doyan mukulin adik-adik orang lain ya? Makanya tuduhannya selalu seperti itu (seperti kejadian di Gramedia Pasar Baru). Perawakan saya kan imut (kecil maksudnya). Karena badan yang kecil inilah makanya sering dijadikan "calon mangsa" oleh penjahat-penjahat teri ini. Begitu batin saya saat itu.
Mendengar perkataannya tadi saya pun menjawab disertai dengan sandiwara yang (saya pikir) tak kalah meyakinkan (seperti dia berakting tadi). Dengan bahasa tubuh yang saya buat seakan saya berempati pada mereka saya pun berkata,
"Hmmm, gue ini mahasiswa UI bukan G***darma. Tapi kok kurang ajar sekali anak G***darma yang mukulin adek lu sampe koma begitu. Yuk gue bantuin lu nyari tu orang. Kebetulan Om gue Kasat Reskrim di Polda Metro Jaya," kata saya sambil memegang pundak kedua orang itu dan seolah-olah hendak mengajak mereka pergi.
Padahal saya tak punya saudara sama sekali di Polda Metro Jaya. Itu hanya trik saya saja untuk melepaskan diri dari situasi yang bisa bikin apes.
Mungkin mendengar kata-kata dan sikap saya yang cukup meyakinkan (bagi mereka), mereka segera menjawab,
"Oh, abang bukan anak G***darma ya? Ya udah deh, gak papa bang. Gak usah dibantu. Kita coba urus sendiri deh."
Saya pun menimpali dengan terus (pura-pura) berempati,
"Gak papa kok gue bantu elu nemuin orang yang jahat itu. Pasti dapet sama Om gue, biar ditembak sekalian."
Rupanya mendengar itu mereka makin ngeri dengan saya, hehehe..... Akhirnya mereka tetap menolak "bantuan" saya dan segera pergi sambil tak lupa untuk meminta maaf. Saya pun kembali sibuk dengan tujuan utama saya : mencari kaset Helloween favorit, sambil berdendang.... -But don't push me to the maximum... shut your mouth and take it home... cause i decide the way things gonna be...-
Sebenarnya masih banyak lagi kisah-kisah percobaan pemerasan (gagal) yang pernah saya alami. Tetapi modus dan "aktingnya" kurang lebih sama dengan yang di atas. Misalnya kejadian malam hari waktu saya sedang berjalan seorang diri dan ditodong dengan senjata tajam oleh 2 orang (calon) penjahat jalanan, tapi kemudian mereka lantas pergi begitu saja karena tak punya nyali ketika saya justru mengajak mereka untuk menodong mobil yang melintas bersama-sama, karena saya berdalih sama-sama pusing dan tak memiliki uang juga -seperti mereka-.
Tentu, saya cuma berpura-pura saja, dengan menganalisa situasi mental mereka yang sepertinya tak akan berani untuk bertindak lebih jauh seperti yang saya ajak : merampok kendaraan yang lewat ! Mungkin dalam hati mereka berkata, "wah, ni orang lebih gila lagi dari gue ternyata," hehehe...... Beresiko memang, tapi 'akting' itu harus saya tempuh supaya masalahnya selesai dengan damai, tanpa ada pihak yang dirugikan apalagi sampai ada yang bersimbah darah (ingat! senjata tajam yang mereka genggam bung, bukan pisang goreng...). Hmmm..... what a cruel world...
Dari beberapa pengalaman teman-teman saya dan juga informasi dari berbagai media massa ternyata banyak yang jadi korban, tak berhasil dan kurang beruntung melepaskan diri dari situasi semacam itu.
:: Inti Atom
Dari sekelumit pengalaman itulah, maka saya berkesimpulan bahwa dengan kecepatan anda mengelola situasi, memperhatikan pembicaraan 'pelaku', dan berusaha bersikap tenang di mata mereka, maka anda dapat mempergunakan "bahan pembicaraan" mereka menjadi amunisi yang justru menggagalkan usaha mereka sendiri. Seperti kisah di atas. Saya menggunakan alasan mereka untuk meredam usaha mereka memeras saya, dan juga ditambah dengan trik dan "akting-akting" lainnya untuk mendukung 'penampilan' kita di hadapan mereka. Jangan pernah berpikir untuk melawan dengan kekerasan, selama masih ada celah untuk 'menyelesaikan' masalah dengan damai dan elegan.
Do not fighting fire with fire. Just use your illusions..... :)
Apabila anda berpikir cepat, tepat, tenang dan 'cool', ditambah dengan nasib baik, maka anda akan terhindar dari (percobaan) penodongan/pemalakan. Terdengar sederhana memang, tetapi cukup ampuh untuk menyelamatkan anda dari kejadian yang -bahkan- dapat membahayakan jiwa. Alhamdulillah sampai saat ini saya tak pernah -jangan sampai terjadi- jadi korban pemalakan dengan cara lakon sandiwara-sandiwara seperti yang banyak terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta. Rupanya "drama" dan "akting" yang saya suguhkan mampu mengalahkan "sandiwara" mereka. Hehehe.......
Semoga dari sedikit pengalaman yang saya bagikan disini bisa menjadi inspirasi anda seandainya (semoga tidak) mengalami kejadian yang kurang lebih sama. Sedikit banyak mudah-mudahan bermanfaat untuk menghadapi 'street crime' dengan modus yang sejenis. Semoga.....
Jangan lupa,selain berhati-hati, setiap kita akan melangkah keluar rumah, berdoalah selalu kepada Allah SWT. Sebab bagaimanapun juga Dialah penentu segalanya. Tak seorangpun yang bisa menyentuh anda tanpa kehendak-Nya. Setuju ???
Mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan.....
Wassalam,
AAngAdhA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar