Jumat, 20 Mei 2011

MENDAKI GUNUNG : Sebuah Refleksi Perjuangan Menuju Puncak Kehidupan

...Bersama sahabat mencari damai...
Mengasah pribadi mengukir cinta...
Mahameru berikan damainya di dalam beku Arcapada...
Mahameru sebuah legenda tersisa...
Puncak abadi para dewa......

Itulah sepenggalan bait lagu dari Dewa 19 yang dilantunkan suara merdu Ari Lasso bertitel  "Mahameru", yang dirilis di tahun 1994. Lagu ini sempat menjadi lagu favorit saya, karena terasa  pas sekali dengan pengalaman saya mendaki Mahameru ; Puncak abadi para dewa...
Tulisan ini terinspirasi dari sedikit pengalaman saya mendaki gunung-gunung di Indonesia. Supaya kenangan itu tak hilang begitu saja tanpa catatan dan juga untuk sekedar berbagi cerita...

Rasanya cukup tepat juga apabila saya mengibaratkan perjuangan mencapai puncak di lingkup hidup  kita masing-masing dengan perjuangan berat untuk menjejakkan kaki di puncak gunung...  Sepakat kan ???
Okelah kalau begitu saya mulai saja.....

Dalam setiap kegiatan yang dilakukan manusia -apapun itu- tentunya kebanyakan dari mereka akan berorientasi pada pencapaian tertinggi. Baik di sekolah, usaha, pekerjaan, hubungan sosial  maupun kegiatan-kegiatan lainnya hampir setiap orang memiliki hasrat untuk terus maju dan  berusaha mencapai titik tertinggi yang disebut puncak. Memang dengan memiliki semangat seperti  ini kita mungkin dapat meraih prestasi terbaik. Dengan adanya keinginan untuk mencapai tempat tertinggi ini juga akan terjadi kompetisi yang tentunya akan melahirkan sesuatu yang bernilai  lebih baik lagi. Setiap orang ingin menjadi yang tercepat, terkuat, tertinggi dan yang "ter-ter"  lainnya sesuai dengan bidang yang digelutinya. Keinginan untuk itu tidak ada salahnya sama sekali selama perjalanan untuk menggapainya dilakukan dengan cara yang baik, fair dan tidak merugikan  pihak lain.

:: Pendakian Menuju Puncak

Ketika membuka album-album lama yang tersimpan, perhatian saya terfokus pada foto-foto jadul  mendaki gunung pada saat saya masih menjadi mahasiswa. Ya, saya dulu menggemari kegiatan mendaki gunung selain demonstrasi hehehe..., walaupun saya tidak bergabung dengan organisasi pencinta alam manapun. Sebab saya merasa bukan pencinta alam yang menurut saya berat sekali konsekuensinya, yaitu mencintai alam dengan sebenar-benarnya (padahal saya suka ngumpulin bunga edelweiss dari setiap gunung yang saya daki, ups, ya maaf.....). Walaupun saya tidak tergabung secara resmi dengan kawan-kawan dari organisasi pencinta alam, tetapi saya cukup sering ikut serta dan bergabung  dengan mereka dalam kegiatan-kegiatan pendakian. Saya juga belajar secara mandiri teknik-teknik mountaineering dengan mengumpulkan bahan-bahan sendiri dan mempelajari (so, nggak kalah sama anak organisasi lho...).

Kembali lagi ke pembahasan semula...


Pencapaian menuju puncak tertinggi dapat kita analogikan dengan kegiatan mendaki gunung ini. Dengan mendaki gunung saya bisa lebih mengerti hakikat dari sebuah perjalanan menuju puncak. Hanya dengan kemauan yang kuat, persiapan yang cukup, kondisi fisik yang prima, perlengkapan yang memadai, pengetahuan tentang medan, dukungan modal dan juga  nasib baik, maka kita bisa mewujudkan tujuan dan impian kita : mencapai puncak tertinggi dan menikmati keindahan yang tidak akan pernah kita dapatkan kalau kita hanya berada di bawah saja.  Teman-teman yang suka mendaki gunung tentu mengetahui tentang hal ini bukan ?

:: Jalan Ini Berliku dan Mendaki

Untuk mencapai tujuan yakni puncak, perjalanan yang panjang dan pasti penuh dengan tantangan akan dihadapi oleh seluruh pendaki. Baik yang sudah berpengalaman -apalagi pemula, semua merasakan beratnya perjuangan untuk menggapai puncak tertinggi.

Kadang jalan yang dilalui sedemikian panjangnya, sehingga tak jarang anda bertanya dalam hati sampai kapan perjalanan ini akan berakhir. Dengan beban di punggung yang dapat mencapai 30 kg (ini berat rata-rata beban ketika saya mendaki gunung), jalan yang mendaki, terkadang melipir di tepi jurang yang mencapai ribuan meter dalamnya (seperti di G. Rinjani Lombok), anda harus terus melangkahkan kaki. Terik matahari di kala siang hari yang bercampur dengan dinginnya udara pegunungan senantiasa menemani perjalanan panjang membuat kulit terbakar sinar matahari dan bibir pun pecah-pecah.

Tidak semua puncak gunung dapat dilihat langsung dari kakinya seperti G. Kerinci di Sumatera Barat, atau G. Sundoro dan G. Sumbing di Jawa Tengah (contoh G. Semeru di Jawa Timur). Ini menandakan bahwa banyak bukit dan punggung-punggung gunung yang harus kita taklukkan sebelum mencapai tujuan utama. Jadi setelah sekian lama lelah mendaki, kita akan menemui jurang dan lembah yang artinya jalan yang kita lalui harus menurun lagi. Hal seperti ini kadang membuat kita kecil hati dan frustasi, bayangkan setelah capek bin lelah berjam-jam berjalan mendaki, kita harus turun lagi karena masih banyak bukit yang mesti dilalui sebelum mencapai puncak yang dituju.

Medan yang berat menghadang selama di perjalanan. Kalau kebetulan sedang musim hujan, maka jalur pendakian akan terasa sangat licin dan berbahaya. Oleh karena itu penggunaan sepatu khusus untuk mendaki gunung sangatlah terasa membantu. Jika musim kemarau bisa menyebabkan jalur pendakian  sangat berdebu, seperti di G. Ciremai Jawa Barat yang sangat berdebu sehingga saya menjulukinya The Dusty Mountain. Tentu saja kondisi fisik yang prima mutlak diperlukan bagi setiap pendaki gunung. Tanpa itu semua, puncak yang dituju tentunya hanya akan tinggal angan, bahkan lebih jauh lagi dapat membahayakan jiwa yang bersangkutan. Kadar oksigen yang tipis ketika kita berada di ketinggian  lebih dari 2.000 mdpl (di atas permukaan laut) dapat mengakibatkan seseorang mengalami mountain sickness misalnya sakit kepala, cepat lelah dan mual-mual. Tapi itu juga tergantung dari masing-masing orang. Sebab setiap orang memiliki daya tahan yang berbeda-beda. Untungnya selama saya menggeluti hobi saya naik gunung saya belum pernah mengalami mountain sickness ini. Hmm.... berarti badan saya cukup kuat nih..... hehehe... Semakin tinggi kita mendaki, semakin  tipis pula kadar oksigen yang kita hadapi.

Belum lagi udara yang terkadang sangat dingin, terutama di malam hari yang dapat saja menyebabkan seorang pendaki mengalami hypothermia (penurunan suhu tubuh), yang apabila terlambat dilakukan antisipasi akan menyebabkan kehilangan kesadaran dan akhirnya tewas kedinginan. Saya sendiri sempat hampir mengalami kejadian itu di G. semeru, tepatnya di Ranu Kumbolo ketika bermalam dalam perjalanan. Suhu disini ketika itu 5* celcius. Saya kebetulan membawa jam tangan digital  yang memiliki fitur multimeter, di antaranya altimeter (pengukur ketinggian), barometer (tekanan udara) , termometer (suhu udara). Untung teman-teman saat itu sigap dan segera memasukka botol- botol berisi air hangat ke dalam kantung tidur (sleeping bag) saya, sehingga kejadian yang membahayakan dapat dihindari (thanks to Muri and Ali Mahmud).

Di ketinggian sekitar 2.500 mdpl akan anda temui tanaman khas pegunungan yang menjadi obsesi bagi sebagian pendaki gunung untuk dinikmati - bahkan dipetik (walaupun sebaiknya jangan dilakukan). Ya, bunga abadi alias bunga Edelweiss sungguh cantik sekali. Bayangkan anda dapat melihat langsung bunga ini tumbuh di habitat aslinya. Benar-benar indah dan terasa romantis kala kita  memandang dan menyentuhnya.

Selain itu vegetasi yang ada di ketinggian lebih dari 2.500 mdpl ini sungguh sangat berbeda dengan yang ada di dataran rendah tempat kita biasa tinggal dan beraktifitas. Ini juga memberikan kepuasan tersendiri bagi saya, bisa melihat jenis-jenis tumbuh-tumbuhan yang takkan pernah anda  lihat dan sentuh dalam kehidupan sehari-hari. Cemara-cemara gunung yang tinggi ditingkahi dengan suara-suara satwa liar membuat tenang mereka yang menikmatinya. Memang terkadang suara-suara satwa liar sempat membuat kami takut (sebab kami tak tahu pasti suara apa itu). Misalnya ketika mendengar suara-suara yang menakutkan di G. Kerinci. Seperti diketahui harimau Sumatera masih ada dan menjadi raja di hutan gunung tertinggi di Sumatera ini. Bagi saya Kerinci bagaikan gunung yang penuh misteri, sehingga saya menjulukinya The Mysterious Mount...

Karena lindungan Allah SWT, saya selama mendaki gunung tak pernah mengalami gangguan dari binatang-binatang buas dan "makhluk-makhluk" lainnya yang menjadi penghuni gunung itu. Kuncinya adalah terus berdoa dan tidak meninggalkan kewajiban selama pendakian.

Di gunung tertentu dapat pula anda temukan danau, seperti misalnya Ranu Kumbolo di G. Semeru  dan Segara Anak di G. Rinjani yang begitu indah. Keindahan yang begitu mempesona ini mesti ditebus dengan perjalanan panjang yang berliku dan mendaki. Apalagi untuk  mencapai titik tertinggi, tentu lebih berat lagi perjuangan yang harus dijalani.

Setelah bersusah-payah (bahkan ada yang sampai berhari-hari) dalam perjalanan, sempat dilingkupi  perasaan frustasi dan kadang ketakutan yang menyergap di dalam hati, akhirnya puncak yang dituju  berhasil dicapai. Di titik tertinggi inilah semua kesulitan selama pendakian seakan terbayar lunas. Tak ada lagi penghalang pandangan mata di sekeliling anda. Awan berarak terasa seperti berada di bawah anda. Sejauh mata memandang yang ada adalah keindahan, mahakarya dari Sang Pencipta. Inilah buah kerja keras dan -tentu saja- nasib baik dari perjuangan anda selama ini.

:: Gunung Tinggi Kan Kudaki, Lautan pun Kusebrangi

Berikut ini adalah beberapa pendakian gunung yang pernah saya lakukan :

1. G. Semeru (3.676 mdpl). Berada di Jawa Timur. Merupakan gunung tertinggi di Jawa dan memiliki rute pendakian yang jauh karena harus melewati deretan bukit-bukit kecil sebelum mencapai Arcapada, pos terakhir sebelum puncak yang medannya berpasir dan rawan runtuhan batu-batu. Gunung ini mengeluarkan letusan dan asap belerang yang beracun hampir setiap 5 menit. Karena itu para pendaki disarankan turun sebelum pukul 9 pagi, dimana saat ini arah angin sudah berubah dan dapat membawa gas beracun yang membahayakan pendaki. Soe Hoek Gie dan Idham Lubis adalah  mahasiswa UI yang menjadi korban gas beracun ini dan meninggal di Puncak Semeru pada tahun 1969.  Di Ranu Kumbolo saya sempat mengalami gejala hypothermia. Jambangan adalah nama tempat yang luas yang menjadi tempat tumbuhnya pohon-pohon edelweiss (lihat foto). Puncak semeru sudah bisa dilihat dari sini. Puncak dicapai pada tanggal 17 Agustus 1993 tepat pada hari kemerdekaan RI ke-48 dan sempat mengibarkan bendera merah putih bersama rekan-rekan grup pendaki gunung lainnya. Saya berjuang mencapai pucak Mahameru bareng TM. Muriansyah Riza (Muri) dan Ali Mahmud (rekan seangkatan di T. Sipil FTUI Depok). O iya, di gunung ini kami sempat nyasar, hehehe......

2. G. Gede (2.958 mdpl). Berada di Jawa Barat. Kami mendaki dari arah Cipanas. Tur bareng anak- anak KAPA (klub pencinta alam) FTUI. Berada di Puncak pada tanggal 28 Nov 1993. Hampir selama perjalanan hujan turun  agak deras. Sungguh suatu kebersamaan yang sulit untuk terlupakan, sampai kapan pun...

3. G. Pangrango (3.019 mdpl). Berada di Jawa Barat. Mendaki gunung ini hanya berdua dengan Muri, dan mencapai puncak pada tanggal 10 Februari 1994. Gunung ini puncaknya tidak memiliki kawah dan ditutupi oleh pepohonan, sehingga kita tak bisa melayangkan pandangan ke bawah. Ya, tidak seperti puncak gunung-gunung lainnya kita tak bisa menikmati pemandangan alam dari puncaknya.

4. G. Ciremai (3.078 mdpl). Berada di wilayah Cirebon Jawa Barat. Tur bareng anak-anak KAPA FTUI. Puncak dicapai pada tanggal 11 April 1994. Gunung ini sangat berdebu. Mungkin dikarenakan ketika kami mendaki, sudah lama hujan tidak turun.

5. G. Gede (2.958 mdpl). Kali ini selain bersama Muri ikut pula rekan satu angkatan, Zulfadhli. Mencapai puncak pada tanggal 3 Mei 1994.

6. G. Kerinci (3.805 mdpl). Merupakan gunung tertinggi di Sumatera dan tertinggi no. 2 di  Indonesia setelah Puncak Jaya di Papua. Masuk dalam kawasan hutan lindung Kerinci Seblat. Di kaki gunung terhampar perkebunan teh yang sangat luas. Gunung ini berada di perbatasan antara Sumatera Barat dan Jambi. G. Kerinci terkenal karena masih berkeliaran disana Harimau Sumatera (Pantera  Tigris Sumatraensis). Mendaki  dari arah desa Kersik Tuo,  jalan berdua bareng Muri... Puncak kami capai tanggal 4 Agustus 1994. Sebelum pendakian ke gunung ini kami sempat  bersilaturahmi dan bermalam di markas pencinta alam Universitas Andalas Padang. Thank bro.....

7. G. Sumbing (3.371 mdpl). Berada di Wonosobo Jawa Tengah. Disini saya yang berangkat bareng Muri bertemu dengan anak-anak Jogja (2 cewek dan 2 cowok). Kami berangkat bersama ke puncak yang dicapai pada tanggal 24 Januari 1995. Di gunung ini kami sempat mengalami badai hebat, yang membuat tenda saya basah dan suhu yang sangat dingin. Karena hujan badai ini rombongan terpisah menjadi 3 grup. Saya terpisah bersama seorang mahasiswi yang namanya saya sudah lupa.  Baju gantinya dibawa oleh rekannya yang lain, dan terpaksa meminjam punya saya. Alhasil, saya tidur dengan baju yang basah dan berada di punggung gunung dalam badai yang menggigilkan. Sempat terbersit tanya di hati, apakah saya akan selamat sampai esok pagi. Syukurlah kami masih dapat  melewati malam yang mengerikan itu dan melihat matahari pagi menyapa. Untungnya teman baru saya yang mahasiswi itu juga baik-baik saja, walaupun dia sempat menggigil kedinginan hampir sepanjang malam (padahal sudah memakai baju ganti saya yang kering). O ya, kami kekurangan air pada saat mencapai puncak, sehingga saya terpaksa turun ke kawah yang licin dan terjal untuk mengambil air  dan berharap air  kawah tersebut tidak beracun dan dapat diminum. Nekad memang, tapi mesti bagaimana lagi?? Bismillah saja, dan..... Alhamdulillah, aman ! hehehe... (lihat foto)

8. G. Sundoro (3.135 mdpl). Juga berada di Wonosobo Jawa Tengah. Gunung Sundoro dan Gunung Sumbing hanya  dipisahkan oleh jalan raya yang membelah di antara keduanya. Makanya kedua gunung ini kerap  disebut gunung kembar, karena letaknya yang  berdekatan. Saya berdua TM. Muriansyah mendaki ke  puncaknya setelah turun dari G. Sumbing dan berpisah dengan teman-teman dari Jogja yang langsung pulang. Tiba di puncak pada tanggal 26 Januari 1995.

9. G. Rinjani (3.726 mdpl). Berada di pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. Merupakan gunung tertinggi no. 3 di Indonesia setelah Puncak Jaya dan Kerinci. Menurut saya ini merupakan gunung tercantik yang pernah saya daki, selain G. Semeru. Perjalanan yang panjang dengan tantangan melipir di pinggir jurang untuk turun menuju danau memberikan sensasi tersendiri dalam pendakian ini. Segara Anak dengan  Gunung Barujari di tengahnya menimbulkan perasaan yang fantastis kala memandangnya. Sungguh indah... Di kejauhan terlihat 'keangkuhan' puncak Rinjani yang sepertinya sulit untuk direngkuh. Dari pinggir jurang ini terlihat pula puncak Gunung Agung nun jauh di Bali sana. Kami bermalam di danau Segara Anak sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak pukul 2 dini hari. Berangkat bareng TM. Muriansyah dan Yanti (hanya menunggu di danau Segara Anak). Tiba di puncak tanggal 27 Juli  1995. Saya terlebih dahulu tiba di puncak dan sempat tertidur hampir satu jam yang membuat Muri teman saya merasa sangat khawatir karena ia memanggil-manggil nama saya dari bawah dan tak ada jawaban.  Setelah dia mencapai puncak, baru bisa membangunkan saya yang sangat terlelap tidur dalam posisi duduk. Maklum, sedang berkelana di dunia mimpi (mungkin karena rasa lelah yang luar biasa). Hehehe.... sori bro Muri sudah sempet bikin ente jantungan.... Di danau Segara Anak dalam perjalanan turun kami sempat  berkenalan dengan 3 orang turis yang mahasiswi juga dari Belanda dan sempat ngobrol ngalor-ngidul. Mereka ditemani porter lokal. Berani juga mereka datang bertiga saja ke Lombok, cewek semua lagi...  Kami pun turun gunung bareng, karena mereka hanya sampai Segara Anak saja, tidak ke puncak Rinjani.

Itulah cuplikan kisah dan sederetan gunung-gunung tinggi di Indonesia yang pernah saya daki. Semua gunung ini tingginya lebih dari 3.000 mdpl, kecuali G. Gede yang "hanya" 2.958 mdpl. Pengalaman  ini memberi kesan yang begitu mendalam dan memberi warna di sebagian perjalanan hidup saya.  Terimakasih Tuhan..... telah memberikan kesempatan itu untukku...

:: Persiapan Mendaki 'Puncak' Kehidupan

Sama seperti perjalanan menuju puncak gunung. Perjuangan menggapai puncak dalam kehidupan kita sehari-hari penuh dengan resiko ; menanjak untuk kemudian sementara menurun (yang kadang membuat frustasi), licin, berdebu, jalan setapak yang tak jelas yang kadang membuat kita tersasar, udara yang sangat dingin, hujan dan badai (pernah saya alami di G. Sumbing Jawa Tengah).

Oleh sebab itu agar kita dapat mencapai puncak maka banyak hal yang harus kita punya dan  persiapkan terlebih dahulu. Misalnya :
  • Pengetahuan medan. Ini sangat diperlukan bagi setiap orang agar mengetahui karakteristik lapangan dan permasalahan-permasalahan yang mungkin dihadapinya.
  • Stamina yang prima. Dengan badan yang sehat, maka perjalanan dapat kita tempuh sesuai dengan target dan rencana. Takkan mungkin menggapai puncak dengan kondisi fisik yang loyo.
  • Perlengkapan yang tepat. Tenda, sleeping bag, carrier adalah barang-barang yang sangat penting dalam pendakian. Perlengakapan untuk mengarungi 'gunung kehidupan' ini pun memerlukan perlengkapan yang memadai, sesuai dengan bidang yang digeluti -tentunya tiap orang berbeda-.
  • Bekal yang cukup. Makanan dan pendukung kesehatan adalah bekal dalam mendaki gunung.  Dalam mendaki puncak kehidupan kita masing-masing, setiap orang mesti memiliki bekal yang cukup. Ilmu pengetahuan adalah salah satu bekal yang diperlukan menghadapi 'medan  pendakian' hidup ini.
  • Dukungan keluarga dan orang-orang terdekat. Hal ini terlihat sepele tetapi pada kenyataannya sangat penting bagi kita yang sedang berupaya mencapai puncak. Dukungan dan do'a dari orang-orang di sekitar kita membuat langkah kaki kita menjadi ringan dan pikiran pun menjadi lebih tenang.
  • Tekad, keinginan dan motivasi yang kuat. Hey, tanpa ini, apa pun yang anda bisa dan punya tidak akan ada artinya. Fisik yang seperti banteng, pengetahuan seperti Einstein, perlengkapan yang  super lengkap tak akan mengantar anda ke puncak apabila motivasi anda tidak punya. Mimpi kali yeee..... :)
Setelah semua yang diperlukan tadi telah kita persiapkan sebaik-baiknya, pada akhirnya Takdir dari Allah SWT jugalah yang menentukan apakah kita bisa mencapai puncak yang kita impikan atau  tidak. Kita  hanya bisa berusaha dan Dia adalah penentu segalanya. Berjuang dan berdoa,  hanya itu yang kita -manusia- dapat lakukan.

Demikianlah sedikit tulisan ini dibuat, sambil mengenang masa lalu, saat dimana jiwa dan raga masih sangat 'kuat nanjak' (sekarang juga masih seeeeh...:)). Mohon maaf kalau ada kata-kata yang  salah........

Semoga pendakian menuju "puncak" yang masing-masing kita tuju dapat tercapai dalam kehidupan ini,
amin YRA...
Setiap pendakian pastilah menanjak, berliku dan penuh halang rintang. Tiada jalan tol untuk mencapai puncak. Diperlukan perjuangan yang penuh dengan keringat, air mata, bahkan darah..... Tetaplah semangat untuk mencapai puncak kehidupan...
Wassalam,
AAngAdhA

4 komentar:

  1. Thanks bro tulisannya bagus bgt. Bener,...kita sampai bisa berdiri di puncak gunung bukan karena kekuatan, ataupun kecerdasan kita...tapi semata mata rahmat dan karunia-Nya.
    Serta Takdir-Nya.

    BalasHapus
  2. Terima kasih honeysweet... Saya sepakat dengan anda.. Semua pasti kembali kepada keputusan-Nya.. Yang penting terus berusaha dan tetap semangat!!! :)

    BalasHapus
  3. nice share neh...
    sebuah refleksi perjuangan menuju puncak kehidupan.
    hmm... saya sangat setuju dengan kalimat tersebut.
    pengalaman saya baru 2 kali mendaki.
    ke gunung dempo dan bukit kaba.
    dan dari perjalanan pendakian saya, saya belajar dan berusaha memaknai kehidupan ini.
    yakni untuk menjadi manusia yang berhati rendah serendah-rendahnya bukit dimata manusia tetapi memiliki derajat yang tinggi setinggi-tingginya gunung dimata allah.
    dan saya mesti banyak belajar lagi, dari blog ini salah satunya.
    please follow back ya mas.

    BalasHapus
  4. Aroel : Terimakasih apresiasinya..
    Ini sekedar berbagi sepenggal kisah kehidupan.. Semoga dapat bermanfaat... :)

    BalasHapus